Cara membuat biethanol tadi Ubi Kayu
Minggu, 26 Januari 2014
PROSES PEMBUATAN BIOETHANOL BERKADAR 90 % DARI BAHAN BAKU UBI KAYU (SINGKONG-CASSAVA)
1. SEKILAS TENTANG BIOETHANOL
Ethanol
merupakan senyawa Hidrokarbon dengan gugus Hydroxyl (-OH) dengan 2 atom
karbon (C) dengan rumus kimia C2H5OH. Secara umum Ethanol lebih dikenal
sebagai Etil Alkohol berupa bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku
tanaman yang mengandung karbohidrat (pati) seperti ubi kayu,ubi
jalar,jagung,sorgum,beras,ganyong dan sagu yang kemudian dipopulerkan
dengan nama Bioethanol. Bahan baku lain-nya adalah tanaman atau buah
yang mengandung gula seperti tebu,nira,buah
mangga,nenas,pepaya,anggur,lengkeng,dll. Bahan berserat (selulosa)
seperti sampah organik dan jerami padi pun saat ini telah menjadi salah
satu alternatif penghasil ethanol. Bahan baku tersebut merupakan tanaman
pangan yang biasa ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah
Indonesia,sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang
potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan
bioethanol. Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan
tanaman yang setiap hektarnya paling tinggi dapat memproduksi
bioethanol. Selain itu pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan
baku proses produksi bioethanol juga didasarkan pada pertimbangan
ekonomi. Pertimbangan ke-ekonomian pengadaan bahan baku tersebut bukan
saja meliputi harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga
meliputi biaya pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku,
dan biaya bahan baku untuk memproduksi setiap liter ethanol.
Secara umum ethanol biasa digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, kosmetika dan kini sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor. Mengingat pemanfaatan ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol yang mempunyai grade 90-95% biasa digunakan pada industri, sedangkan ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 95-99% atau disebut alkohol teknis dipergunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Sedangkan grade ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak menimbulkan korosif, sehingga ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade tinggi antara 99,6-99,8 % (Full Grade Ethanol = FGE). Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.
Secara umum ethanol biasa digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, kosmetika dan kini sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor. Mengingat pemanfaatan ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol yang mempunyai grade 90-95% biasa digunakan pada industri, sedangkan ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 95-99% atau disebut alkohol teknis dipergunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Sedangkan grade ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak menimbulkan korosif, sehingga ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade tinggi antara 99,6-99,8 % (Full Grade Ethanol = FGE). Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.
2. PROSES PRODUKSI BIO-ETHANOL
Tabel 1. Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati Atau Karbohidrat Dan Tetes Menjadi Bio-Ethanol
Bahan Baku
|
Kandungan Gula Dalam Bahan Baku
(Kg)
|
Jmlh Hasil Konversi Bioethanol (Liter)
|
Perbandingan Bahan Baku dan Bioethanol
| |
Jenis
|
Konsumsi (Kg)
| |||
Ubi Kayu
|
1000
|
250-300
|
166,6
|
6,5 : 1
|
Ubi Jalar
|
1000
|
150-200
|
125
|
8 : 1
|
Jagung
|
1000
|
600-700
|
200
|
5 : 1
|
Sagu
|
1000
|
120-160
|
90
|
12 : 1
|
Tetes
|
1000
|
500
|
250
|
4 : 1
|
Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzyme. Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini hydrolisa enzyme lebih banyak dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam (misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan hydrolisa enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi. Reaksi yang terjadi pada proses produksi ethanol/bio-ethanol secara sederhana ditujukkan pada reaksi 1 dan 2.
H2O
(C6H10O5)n ----------------------------N C6H12O6 (1)
enzyme
(pati) ------------------------------------ (glukosa)
(C6H10O5)n ----------------------------N C6H12O6 (1)
enzyme
(pati) ------------------------------------ (glukosa)
(C6H12O6)n ----------------------------2 C2H5OH + 2 CO2. (2)
yeast (ragi)
(glukosa) -------------------------------- (ethanol)
yeast (ragi)
(glukosa) -------------------------------- (ethanol)
Selain
ethanol/bioethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang
mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan
tanaman yang mengandung selulosa (mis: jerami padi), namun dengan adanya
lignin mengakibatkan proses penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga
pembuatan ethanol/bioethanol dari selulosa sementara ini tidak kami
rekomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bioethanol merupakan
teknik yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bioethanol untuk bahan
bakar kendaraan memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang
memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai
neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan.
Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bioethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu Persiapan Bahan Baku,Liquefikasi dan Sakarifikasi,Fermentasi,Distilasi,dan Dehidrasi.
neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan.
Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bioethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu Persiapan Bahan Baku,Liquefikasi dan Sakarifikasi,Fermentasi,Distilasi,dan Dehidrasi.
I. Persiapan Bahan Baku
Bahan
baku untuk produksi biethanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman,
baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu
(sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung
seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum)
disamping bahan lainnya. Persiapan bahan baku beragam bergantung pada
jenis bahan bakunya, sebagai contoh kami menggunakan bahan baku Singkong
(ubi kayu). Singkong yang telah dikupas dan dibersihkan dihancurkan
untuk memecahkan susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air
secara baik.
Penghancuran Singkong | Pemasakan bahan baku |
Kandungan
karbohidrat berupa tepung atau pati pada bahan baku singkong dikonversi
menjadi gula komplex menggunakan Enzym Alfa Amylase melalui proses
pemanasan (pemasakan) pada suhu 90 derajat celcius (hidrolisis). Pada
kondisi ini tepung akan mengalami gelatinasi (mengental seperti Jelly).
Pada kondisi optimum Enzym Alfa Amylase bekerja memecahkan struktur
tepung secara kimia menjadi gula komplex (dextrin). Proses Liquifikasi
selesai ditandai dengan parameter dimana bubur yang diproses berubah
menjadi lebih cair seperti sup. Sedangkan proses Sakarifikasi (pemecahan
gula kompleks menjadi gula sederhana) melibatkan tahapan sebagai
berikut :
-Pendinginan bubur sampai mencapai suhu optimum Enzym Glukosa Amylase bekerja.
-Pengaturan pH optimum enzim.
-Penambahan Enzym Glukosa Amilase secara tepat dan mempertahankan pH serta temperatur pada suhu 60 derajat celcius hingga proses Sakarifikasi selesai (dilakukan dengan melakukan pengetesan kadar gula sederhana yang dihasilkan).
-Pengaturan pH optimum enzim.
-Penambahan Enzym Glukosa Amilase secara tepat dan mempertahankan pH serta temperatur pada suhu 60 derajat celcius hingga proses Sakarifikasi selesai (dilakukan dengan melakukan pengetesan kadar gula sederhana yang dihasilkan).
Liquefikasi dan Sakarifikasi
III. Fermentasi
Pada
tahap ini, tepung telah telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa
dan sebagian fruktosa) dengan kadar gula berkisar antara 5 hingga 12 %.
Tahapan selanjutnya adalah mencampurkan ragi (yeast) pada cairan bahan
baku tersebut dan mendiamkannya dalam wadah tertutup (fermentor) pada
kisaran suhu optimum 27 s/d 32 derajat celcius selama kurun waktu 5
hingga 7 hari (fermentasi secara anaerob). Keseluruhan proses
membutuhkan ketelitian agar bahan baku tidak terkontaminasi oleh mikroba
lainnya. Dengan kata lain,dari persiapan
baku,liquifikasi,sakarifikasi,hingga fermentasi harus pada kondisi bebas
kontaminan. Selama proses fermentasi akan menghasilkan cairan
etanol/alkohol dan CO2.
Hasil
dari fermentasi berupa cairan mengandung alkohol/ethanol berkadar
rendah antara 7 hingga 10 % (biasa disebut cairan Beer). Pada kadar
ethanol max 10 % ragi menjadi tidak aktif lagi,karena kelebihan alkohol
akan beakibat racun bagi ragi itu sendiri dan mematikan aktifitasnya.
Fermentasi bahan baku bioethanol |
Distilasi
atau lebih umum dikenal dengan istilah penyulingan dilakukan untuk
memisahkan alkohol dalam cairan beer hasil fermentasi. Dalam proses
distilasi, pada suhu 78 derajat celcius (setara dengan titik didih
alkohol) ethanol akan menguap lebih dulu ketimbang air yang bertitik
didih 95 derajat celcius. Uap ethanol didalam distillator akan dialirkan
kebagian kondensor sehingga terkondensasi menjadi cairan ethanol.
Kegiatan penyulingan ethanol merupakan bagian terpenting dari
keseluruhan proses produksi bioethanol. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan
tenaga operator yang sudah menguasai teknik penyulingan ethanol. Selain
operator, untuk mendapatkan hasil penyulingan ethanol yang optimal
dibutuhkan pemahaman tentang teknik fermentasi dan peralatan distillator
yang berkualitas.
Penyulingan ethanol dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara :
1.
Penyulingan menggunakan teknik dan distillator tradisional
(konvensional). Dengan cara ini kadar ethanol yang dihasilkan hanya
berkisar antara antara 20 s/d 30 %.
2.
Penyulingan menggunakan teknik dan distillator model kolom reflux
(bertingkat). Dengan cara dan distillator ini kadar ethanol yang
dihasilkan mampu mencapai 90-95 % melalui 2 (dua) tahap penyulingan.
Hasil
penyulingan berupa ethanol berkadar 95 % belum dapat larut dalam bahan
bakar bensin. Untuk substitusi BBM diperlukan ethanol berkadar 99,6-99,8
% atau disebut ethanol kering. Untuk pemurnian ethanol 95 % diperlukan
proses dehidrasi (distilasi absorbent) menggunakan beberapa cara,antara
lain : 1.
Cara Kimia dengan menggunakan batu gamping 2. Cara Fisika ditempuh
melalui proses penyerapan menggunakan Zeolit Sintetis. Hasil dehidrasi
berupa ethanol berkadar 99,6-99,8 % sehingga dapat dikatagorikan sebagai
Full Grade Ethanol (FGE),barulah layak digunakan sebagai bahan bakar
motor sesuai standar Pertamina. Alat yang digunakan pada proses
pemurnian ini disebut Dehidrator.
Proses penyulingan ethanol dengan alat konvensional
Penyulingan (distilasi) ethanol menggunakan distillator model kolom reflux
Cairan ethanol dari proses distilasi
Bioethanol kadar 95-96 % (alkohol teknis)
Pengukuran kadar ethanol (alkohol)
V. Hasil samping penyulingan ethanol.
Akhir
proses penyulingan (distilasi) ethanol menghasilkan limbah padat
(sludge) dan cair (vinase). Untuk meminimalisir efek terhadap pencemaran
lingkungan, limbah padat dengan proses tertentu dirubah menjadi pupuk
kalium,bahan pembuatan biogas,kompos,bahan dasar obat nyamuk bakar dan
pakan ternak. Sedangkan limbah cair diproses menjadi pupuk cair. Dengan
demikian produsen bioethanol tidak perlu khawatir tentang isu berkaitan
dengan dampak lingkungan.
Limbah padat (sludge) | Limbah cair (Vinase) |
edit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar